Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Money Politics di Era Kerajaan Mataram

Politik uang, salah satu derivat korupsi yang istilahnya moncer akhir-akhir ini, ternyata tidak lahir di era modern. Siapa sangka, keberadaannya sudah ada, bahkan jauh sebelum KPU/KPUD menggelar Pilpres, Pemilu Legislatif, atau Pilkada.

Adalah Prawiradiningrat II, yang mencatatkan diri sebagai salah seorang pelaku politik uang di masa lampau. Demi mengejar jabatan sebagai Bupati Madiun, anak pemberontak tersebut rela merogoh kocek 10 ribu real dari kantongnya. Dengan uang sebesar itu, dia membeli jabatan tersebut dari Sultan Yogya, sehingga akhirnya bisa menjadi orang nomor satu di Kabupaten Madiun.
 
Kisah jual-beli jabatan yang terjadi di Mataram pada abad ke-18 tersebut, diungkap dalam buku “Korupsi” karya sejarawan Ong Hok Ham. Dalam buku yang disunting Mochtar Lubis dan James S. Scott (LP3ES, 1988), tersebut, Ong Hok Ham menulis bahwa tindak korupsi (memperkaya diri dan menyalahgunakan jabatan), merupakan hal yang dianggap wajar pada masa tersebut.

Korupsi pada masa-masa Kerajaaan Nusantara, lanjutnya, memang sebuah “aturan”. Di Mataram itu pula, seseorang yang hendak menjadi pejabat harus mengumpulkan cacah atau sekelompok orang yang bisa menjadi anak buah. Cacah ini nanti yang bekerja dan memberi upeti kepada seorang raja (atasan). Semakin banyak cacah yang dipunyai semakin besar upeti yang akan diterima.
 
 
 
 
Sumber:
aclc.kpk.go.id
Pengantar Antikorupsi Kelembagaan

Posting Komentar untuk "Money Politics di Era Kerajaan Mataram"