Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nilai Integritas dari Soekarno

Siapa tak kenal Ir. Sukarno, presiden pertama sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia? Sosok luar biasa yang tak hanya dikenal sebagai seorang negarawan, namun juga arsitek jempolan dengan karya-karya monumental.

Bung Karno lahir di Surabaya, Jawa Timur, pada 6 Juni 1901 dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Ia tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo, di Tulung Agung. Di kota itulah ia mulai bersekolah, namun pindah ke Mojokerto, mengikuti kedua orangtuanya.

Bung Karno pada awalnya masuk Eerste Inlandsche School (EIS), tempat ayahnya bertugas. Namun, kemudian dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) pada 1911. Selanjutnya, ia menuntut ilmu di Hoogere Burger School (HBS). Dari sana, pada 1921, Bung Karno masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng dan mengambil jurusan teknik sipil.

Sejak di HBS, karena tinggal di pondokan milik HOS Tjokroaminoto, Bung Karno mulai berkenalan dengan para pemimpin Sarekat Islam dan mengenal pergerakan kemerdekaan. Ia pun lantas aktif di organisasi Tri Koro Darmo yang lantas berubah menjadi Jong Java.

Langkah Bung Karno selanjutnya mengemuka bersama Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikannya pada 1927. Karena aktivitas politiknya, Bung Karno terus dikejar pemerintah kolonial Belanda dan beberapa kali dipenjara dan diasingkan.

Sosok Bung Karno kemudian sangat mengemuka dalam pergerakan nasional hingga akhirnya menjadi orang yang memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ia pun lantas menjadi presiden pertama Republik Indonesia. Jabatan itu disandangnya selama tujuh tahun.

Bung Karno mengembuskan napas terakhir pada 21 Juni 1970 karena sakit ginjal yang dideritanya sejak 1965. Masa-masa akhir hayatnya terbilang merana karena dijadikan tahanan politik oleh Orde Baru yang berkuasa kala itu.

1. Tak Usik Fasilitas Negara

Akhir tragis dan tak mengenakkan dialami Ir. Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia. Tak lama setelah mosi tak percaya parlemen bentukan Nasution pada 1967 dan MPRS menunjuk Soeharto sebagai presiden baru, Bung Karno menerima surat perintah untuk segera meninggalkan istana. Ada rasa sedih yang menjalar di tubuhnya. Namun, ia harus rela dan mengalah.

Meski merasa dikhianati, Bung Karno tak memendam dengki, apalagi sampai terlintas untuk melakukan pembalasan. Bakti kepada negeri tetap dijunjungnya tinggi-tinggi. Dengan tegas, ia memperingatkan anak-anaknya untuk tak membawa apa pun yang bukan milik pribadi.

“Mana kakak-kakamu?” tanya Bung Karno kepada Guruh. “Mereka pergi ke rumah ibu (Fatmawati),” jawab Guruh. “Mas Guruh, bapak sudah tidak boleh tinggal di istana ini lagi. Kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain. Itu punya negara!” tandas Bung Karno yang lantas menyampaikan hal serupa kepada para ajudannya.

Salah satu ajudan Bung Karno kala itu bertanya, “Kenapa Bapak tidak melawan? Kenapa dari dulu Bapak tidak melawan?” Mendengar pertanyaan itu, Bung Karno menjawab, “Kalian tahu apa... Kalau saya melawan, nanti perang saudara. Perang saudara itu sulit. Jikalau perang dengan Belanda, kita jelas... Hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak... Lebih baik saya robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara!”

Saat akhirnya meninggalkan istana, Bung Karno pun hanya mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang hitam. Dengan menumpang VW kodok, ia minta diantarkan ke rumah Fatmawati di bilangan Sriwijaya, Kebayoran.

Menurut kalian, nilai-nilai integritas apa yang bisa kita teladani dalam kisah Soekarno di atas?

  1. Jujur 
  2. Peduli  
  3. Sederhana 
  4. Berani  
  5. Tanggung jawab 
  6. Adil 
  7. Mandiri  
  8. Kerja keras  
  9. Disiplin

2. Tinggalkan Duku Idaman

Usai menjabat presiden dan terusir dari istana, Bung Karno bisa dikatakan merana. Ia tak punya apa-apa. Selama ini, ia hanya sibuk berbuat untuk bangsa dan negara. Ia tak sempat punya waktu untuk memikirkan diri sendiri, apalagi menimbun kekayaan. Beberapa kali, Bung Karno harus mencari utangan. Salah satunya ketika hendak menikahkan Sukmawati.

Suatu ketika, saat berjalan-jalan keliling kota, Bung Karno berhasrat membeli duku. “Tri, aku ingin duku,” kata Bung Karno kepada Putu Sugianitri, ajudan yang menemaninya. “Uangnya mana?” tanya Nitri. Bung Karno menjawab, “Sing ngelah pis. Aku tak punya uang.”

Nitri membuka dompetnya. Untuk membeli sekilo duku, uangnya masihlah cukup. Ia lantas mendatangi tukang duku dan meminta dukuduku itu dibawa ke arah Bung Karno. “Mau pilih mana, Pak? Manis-manis nih,” kata tukang duku itu. Bung Karno menjawab, “Coba kamu cari yang enak.”

Tukang duku terhenyak ketika mendengar suara yang dirasa sangat akrab di telinganya itu. “Lha, itu kan suara Bapak... Bapak... Bapak..!” seru si tukang duku sembari berlari ke arah teman-temannya. “Ada Pak Karno! Ada Pak Karno!”

Bung Karno tertawa dalam hati. Namun, dia khawatir tukang duku dan teman-temannya nanti diburu tentara karena dianggap mendukung dirinya. “Tri, cepat jalan...” Bung Karno pun berlalu dan melupakan duku yang diidamkannya. Baginya, keselamatan orang lain, apalagi rakyat kecil, lebih berharga dari beberapa butir duku yang diinginkannya.

Menurut kalian, nilai-nilai integritas apa yang bisa kita teladani dalam kisah Soekarno di atas?
  1. Jujur
  2. Peduli 
  3. Sederhana
  4. Berani 
  5. Tanggung jawab
  6. Adil
  7. Mandiri 
  8. Kerja keras 
  9. Disiplin



Sumber:

aclc.kpk.go.id
Orange Juice for Integrity

Posting Komentar untuk "Nilai Integritas dari Soekarno"